PURBALINGGA, KANAL BANYUMASAN – Pilkada serentak, tinggal menghitung hari. Masa kampanye sudah berakhir, saat ini sudah memasuki masa hari tenang. Dalam hitungan hari waktu injuri time, atau waktu terakhir jelang pencoblosan, 9 Desember 2020 dibeberapa wilayah pilkada ternyata masih marak praktek politik uang. “Wangsit” atau uang dhisit, ini ternyata justru dianggap cara yang paling jitu untuk mendongkrak perolehan suara.
Praktik money politic atau politik uang disebut tidak dapat dihindari di ajang pemilihan kepala daerah (pilkada). Fenomena ini kerap terjadi, baik pemilihan kepala daerah melalui DPRD maupun secara langsung. Praktik politik uang ini bukan hal yang mudah di atasi.
Apakah di dalam pilkada itu ada money politic? Dalam sejarahnya, politik uang dalam sistem meraih kursi jabatan kekuasaan di pemerintahan, politik uang uang ini sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.
Ketika ingin menjadi lurah, wedana, residen praktek politik uang, selalu ada. Bahkan dalam pemilihan kepala desa dan bupati pada masa setelah kemerdekaan pun belum bisa dihapus. Ketika pemilihan Bupati pada masa lalu yang dipilih di DPRD, money politic ada.
Ketika sekarang pemilihan langsung, calon Bupati mulai melakukan politik uang dari masa pendaftaran calon, saat membeli sekoci partai pendukung, saat masa kampanye dan pada hari H pencoblosan.
Politik uang hanya berubah bentuk dari pemilihan kepala daerah oleh DPRD maupun pemilihan kepala daerah secara langsung dipilih rakyat. Jika pemilihan melalui DPRD, maka uang yang diberikan secara borongan, namun jika pemilihan secara langsung, maka politik uang yang diberikan berupa eceran.
Kalau lewat DPRD itu borongan, partai membayar ke partai, selesai. Kalau ke rakyat, bayar ke rakyat pakai amplop satu per satu. Tinggal caranya mau eceran apa borongan, sama-sama tidak bisa dihindari pada waktu itu.
Soal permasalahan politik uang itu bukan hanya bagi-bagi uang ke masyarakat. Sejak awal pencalonan praktik ini kerap terjadi. Beberapa kali terdengar isu para pasangan calon harus memberikan mahar politik jika ingin diusung oleh partai tertentu.
Politik uang juga bisa melibatkan penyelenggara pemilu. Ketika sudah selesai proses pemungutan dan penghitungan suara, melakukan tahapan selanjutnya, rekapitulasi suara, ada proses jual beli suara yang melibatkan penyelenggara pemilu.
Namun demikian praktik politik uang ini sangat sulit untuk dibuktikan. Pihak yang ingin mengetahui praktik tersebut biasanya takut akan keselamatan dirinya. yang jadi masalah, politik uang ini terkadang sulit untuk membuktikannya, yang melaporkan khawatir kalau dilaporkan justru dikriminalisasi balik, atau ya susah saja.
Kita hanya bisa dengar cerita, tapi tidak bisa diusut. Dari sisi waktu proses penyelesaian juga sangat singkat, sehingga tidak bisa menjerat aktor kunci.
Praktik politik uang ini biasanya dilakukan karena para calon memanfaatkan kondisi ekonomi rakyat. Praktik-praktik seperti ini dihindari oleh para peserta pilkada demi kualitas demokrasi yang lebih baik.
Memang masyarakat ada yang tidak mampu, masih menghadapi kemiskinan dan sebagainya, tapi janganlah kesengsaraan masyarakat itu dieksploitasi dengan uang receh. Sehingga tolong politik uang ini ditegakkan juga. Jika terbukti melakukan pelanggaran politik uang.
Seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam frasa UU 10 2016 ayat 2 berbunyi, sanksi administratif berlaku untuk pasangan calon, apabila paslon terbukti melakukan politik uang, Bawaslu dapat melakukan pembatalan sebagai pasangan calon kepala daerah.
“Paslon yang terbukti melakukan politik uang secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) bisa terkena sanksi diskualifikasi.
Pelanggaran terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.
Sistematis adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.
Pelanggaran money Politik TSM bisa saja dilakukan oleh orang lain seperti simpatisan atau tim kampanye manakala terbukti dilakukan atas perintah dan aliran dananya dari paslon maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran.
Ketentuan pidana mengenai politik uang dalam pasal 187A ayat (1), bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Kalau nanti terjadi setelah paslon ditentukan, tentu akan ada proses hukum yang berjalan. Aturannya sudah sangat jelas. Akan efektif digunakan ketika KPU telah menetapkan paslon pada 23 September 2020. Sebelum itu masih berstatus bakal pasangan calon.
Adapun objek pelanggaran administrasi TSM pemilihan yaitu, perbuatan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan atau pemilih yang terjadi secara TSM (Pasal 73 JO 135A UU Pemilihan).
Sedangkan untuk batas waktu penanganan pelanggaran money politik TSM diatur dalam pasal 26 ayat 2 Perbawaslu Nomor 13 Tahun 2017, yang mengatur : Laporan dugaan pelanggaran administrasi disampaikan kepada Bawaslu Provinsi terhitung sejak ditetapkannya pasangan calon sampai hari pemungutan suara.
di hari-hari terakhir jelang Pilkada kali ini, mari kita hindari politik transaksional dalam memilih Kepala Daerah. Politik uang hanya akan menambah kesuburan korupsi di kemudian hari dan sangat menyederai prinsip berdemokrasi yang sehat. Bersainglah secara sehat dan wajar agar mahkota demokrasi itu benar-benar berasal dari suara hati nurani pilihan rakyat (***) Penulis adalah Wakil Sekretaris Cabang DPC PPP Kab Purbalingga, tinggal di Purbalingga Jawa Tengah.