KANAL BANYUMASAN – Sebentar lagi Muktamar IX PPP akan berlangsung pada 18-21 Desember di Makasar. Agenda dari Muktamar adalah memilih ketua umum baru dan dalam satu tema besar Muktamar PPP saat ini yakni persatuan umat Islam dan persatuan Indonesia.
Partai yang berlambang Kakbah ini lahir pada 5 Januari 1973 dari fusi empat parpol Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiah (PERTI).
Fusi merupakan kebijakan Orde Baru untuk tujuan stabilitas politik dengan penerapan azas tunggal Pancasila. Empat partai Islam pun harus berfusi menjadi PPP untuk bertahan hidup demi menyelamatkan saluran politik umat.
Dalam perjalanannya, PPP memiliki peran sentral dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Sebagai satu-satunya saluran politik Islam era Orde Baru, PPP menjadi ikon perlawanan terhadap kesewenangan pemerintah.
Sikap politik PPP terlihat dari perjuangannya di parlemen yang mampu mengawal aspirasi umat Islam. Salah satu perjuangan PPP yang cukup fenomenal ketika menolak upaya legalisasi pernikahan beda agama dalam UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.
Setelah sembilan kali ikut pemilu, PPP banyak melahirkan tokoh-tokoh hebat yang disegani. Salah satu kader terbaik PPP, Hamzah Haz pernah menjabat sebagai Wakil Presiden (2001-2004).
Tak hanya itu, PPP juga melahirkan politisi perempuan yang cukup disegani selama Orde Baru, yakni Aisyah Amini. Atas suara lantangnya dalam memperjuangkan kebijakan menyangkut kepentingan rakyat dan kesetaraan gender, Aisyah mendapat julukan ‘Singa Betina dari Senayan’.
Reformasi politik pada 1998 menyebabkan munculnya parpol-parpol baru. Kekuatan yang berhimpun di PPP terberai membentuk parpol baru yang serupa ataupun memiliki nafas perjuangan serupa.
Banyak kalangan memprediksi PPP akan hilang ditelan bumi. Bahkan setiap menjelang pemilu banyak lembaga survei memperkirakan PPP tak akan bertahan di Senayan.
Namun, semua prediksi tersebut tak pernah terbukti. Hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 masih menempatkan PPP dalam urutan tiga besar perolehan kursi DPR.
Hal ini menandakan kuatnya infrastruktur partai hingga tingkat desa atau kelurahan. Spirit PPP sebagai alat perjuangan politik umat Islam tetap bertahan.
Di antaranya, PPP menjadi pelopor lahirnya sejumlah UU yang selaras dengan Islam, di antaranya UU Anti Pornografi, UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Haji, UU Jaminan Produk Halal dan lainnya. Saat ini pun, PPP menjadi pelopor pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol maupun RUU Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren.
Pemilu 2009 boleh dibilang periode terburuk bagi PPP karena kehilangan 20 kursi dari 58 menjadi 38 kursi sehingga harus terlempar dari tiga besar. Pemilu 2014 PPP berusaha bangkit dengan berhasil menaikkan jumlah kursi dari 38 menjadi 39 kursi.
Setidaknya ada dua faktor penyebab, pertama faktor eksternal berupa perubahan sistem pemilu dari tertutup menjadi terbuka yang menyebabkan persaingan semakin kompleks. Kedua, faktor internal yakni regenerasi yang mengalami keterlambatan. PPP selalu identik dengan partai tua sehingga kurang diminati kalangan muda.
Pemilu 2009 merupakan era dimulainya transisi dari generasi pertama ke generasi kedua dengan tampilnya politisi muda di panggung nasional. Proses regenerasi berlanjut ke Pemilu 2019 dengan semakin banyak munculnya wajah-wajah baru politisi PPP menghiasi pemberitaan media.
Terus melorotnya suara PPP sejak 2004 dan berpuncak pada pemilu 2019 harusnya menjadi catatan penting bagi kader-kader PPP, bahwa basis massa yang dibangun saat ini sudah tidak mengandalkan basis tradisional. Pertarungan transaksional dalam pemilu 2019 menjadi titik pijak PPP ke depan harus mau tidak mau ke luar dari pertarungan transaksional itu untuk jadi pemenang.
Hari ini kita telah menikmati masa reformasi. Semua orang ingin menyampaikan sikapnya masing-masing. PPP sebagai satu-satunya wadah perjuangan umat di zaman orba, terbukti sebatas formalitas. Terbukti pada berdirinya banyak partai berideologi Islam.
Bukan hanya tidak bersatu dalam satu wadah, Bahkan yang disayangkan beberapa partai Islam kadang justru bersebrangan dari aspirasi umat. Mendukung non-muslim padahal ada calon dari muslim yang berkapasitas.
Entah apa yang ada dalam pikiran para elit kita hari ini. Cita-cita bersatunya kembali umat Islam semakin memudar. Para tokoh muslim nasional tidak mampu untuk duduk bersama ketika menghadapi perbedaan pendapat di antara mereka. Konflik yang berujung pada perpecahan baru tidak bisa terhindarkan. Bisa jadi karena elit politik kita tidak sedang memperjuangkan umat tapi mereka perjuangkan eksistensi diri mereka.
Banyaknya partai berideologi Islam, termasuk yang baru berdiri atau baru direncanakanakan berdiri, dapat kita amati justru terjebak dalam pragmatisme sekadar menghidupkan partai. Ini terlihat pada gerakan mengekor kepada partai ideologi nasional. RUU HIP misalnya, hampir semua partai Islam menandatangani draftnya.
Padahal gerakan akar rumput jelas menolak. Isu keumatan ini tidak hanya persoalan dalam negeri saja. Negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia ini, harusnya juga mampu berperan aktif pada isu muslim dunia. Isu terpanas hari ini tentang Perang Libya, normalisasi UEA-Israel, dan lainnya, memperlihatkan dengan gamblang absennya suara Indonesia meski wapres kita adalah seorang kiai.
Umat Islam yang jumlahnya banyak ini hanya dijadikan lumbung suara. Isu-isu keagamaan dibentuk sebatas barang dagangan. Tidak menyentuh pada tataran hakikat masalah untuk mencari solusi. Berbeda sekali dengan perjuangan Masyumi dahulu yakni menagih janji Soekarno untuk dikembalikannya piagam Jakarta secara utuh pada pembukaan UUD 1945.
Kita lihat hari ini bisa sendiri semisal partai A bermusuhan dengan partai B di tingkat nasional tapi berkoalisi di tingkat daerah. Tentu di daerah mereka akan jualan isu yang berbeda dengan yang di tingkat nasional. Fenomena seperti ini jangan sebatas dipahami sebagai kewajaran dalam realitas politik. Bisa jadi partai-partai yang mengaku berideologi muslim itu hanyalah kemasan yang menyesuaikan pasar.
Seperti kita tahu ada fenomena barang-barang berlabel halal padahal bukan konsumsi perut yang tidak perlu dipertanyakan kehalalannya. Saya pribadi tidak berharap besar pada elit kita hari ini yang terkesan tidak mampu duduk bersama dalam kerja-kerja keumatan. Sehingga tidak bisa juga menyalahkan mereka yang akhirnya membentuk partai baru.
Namun kita masih bisa untuk mempersiapkan generasi ke depan agar memiliki kesadaran politik untuk memperjuangkan isu keumatan. Melek politik adalah keharusan bagi umat Islam. Dalam arena perpolitikan memang banyak hal-hal yang tidak sesuai nurani kita.
Tapi kalau kita membiarkan politik diisi oleh orang-orang yang hanya mengejar dunia maka kekuasaan akan digunakan untuk kezaliman bagi umat. Akan berbeda ketika para pemimpin kita adalah orang-orang yang hanif. Ibarat bersatunya ‘ulama dan umaro’, maka kita bisa melihat sosok Umar bin Abdul Aziz yang keadilannya terasa di seluruh pelosok negeri.
Belajar dari semua kisah perpecahan wadah politik umat, sepertinya perlu bagi generasi muda untuk lebih dikenalkan pada tanggung jawab amanah. Amanah adalah sarana untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya sehingga perlu orang yang kuat agar mampu lindungi yang lemah. Amanah adalah beban akhirat yang akan dihisab sehingga janganlah diperebutkan. Dan dalam kerja keumatan ini tidak dipandang oleh Allah tentang apa posisinya, namun seberapa besar amalan itu dipersemBahkan sebagai nilai ibadah.
Dengan dipahaminya konsep amanah ini, diharapkan semangat politik yang diusahakan tumbuh pada generasi muda Islam adalah semangat untuk menghidupkan nilai Islam. Mereka nantinya dapat mengambil peran apapun di masa depan. Dan persatuan itu akan terwujud dengan sendirinya atas dasar kesamaan pandangan memenuhi amanah.
Muktamar sebagai titik tolak menuju Pemilu 2024 tentu masih menyisakan pekerjaan rumah besar bagi pengurus PPP. Soal ketua umum menjadi perbincangan menarik hari-hari belakangan ini menghiasi media nasional.
Banyak nama muncul mulai dari Suharso Monoarfa, Mardiono, Khofifah, Saifullah Yusuf, Sandiaga Uno, Taj Yasin dan lain-lain. Tentu PPP sebagai partai Islam dan modern punya mekanisme untuk memilih ketum secara demokratis dan konstitusional sehingga paska Muktamar PPP segera cepat berbenah diri untuk menyiapkan perangkat menyambut Pemilu 2024 dengan lebih baik lagi tidak saja karena ancaman elektoral treshold (ET) namun juga menyiapkan perangkat kader-kader PPP mengisi kepemimpinan nasional dengan lebih baik lagi. (***) Aji Setiawan, Wakil Sekretaris DPC PPP Purbalingga Jawa Tengah,