Hari ini kita telah menikmati masa reformasi. Semua orang ingin menyampaikan sikapnya masing-masing. PPP sebagai satu-satunya wadah perjuangan umat di zaman orba, terbukti sebatas formalitas. Terbukti pada berdirinya banyak partai berideologi Islam.
Bukan hanya tidak bersatu dalam satu wadah, Bahkan yang disayangkan beberapa partai Islam kadang justru bersebrangan dari aspirasi umat. Mendukung non-muslim padahal ada calon dari muslim yang berkapasitas.
Entah apa yang ada dalam pikiran para elit kita hari ini. Cita-cita bersatunya kembali umat Islam semakin memudar. Para tokoh muslim nasional tidak mampu untuk duduk bersama ketika menghadapi perbedaan pendapat di antara mereka. Konflik yang berujung pada perpecahan baru tidak bisa terhindarkan. Bisa jadi karena elit politik kita tidak sedang memperjuangkan umat tapi mereka perjuangkan eksistensi diri mereka.
Banyaknya partai berideologi Islam, termasuk yang baru berdiri atau baru direncanakanakan berdiri, dapat kita amati justru terjebak dalam pragmatisme sekadar menghidupkan partai. Ini terlihat pada gerakan mengekor kepada partai ideologi nasional. RUU HIP misalnya, hampir semua partai Islam menandatangani draftnya.
Padahal gerakan akar rumput jelas menolak. Isu keumatan ini tidak hanya persoalan dalam negeri saja. Negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia ini, harusnya juga mampu berperan aktif pada isu muslim dunia. Isu terpanas hari ini tentang Perang Libya, normalisasi UEA-Israel, dan lainnya, memperlihatkan dengan gamblang absennya suara Indonesia meski wapres kita adalah seorang kiai.
Umat Islam yang jumlahnya banyak ini hanya dijadikan lumbung suara. Isu-isu keagamaan dibentuk sebatas barang dagangan. Tidak menyentuh pada tataran hakikat masalah untuk mencari solusi. Berbeda sekali dengan perjuangan Masyumi dahulu yakni menagih janji Soekarno untuk dikembalikannya piagam Jakarta secara utuh pada pembukaan UUD 1945.
Tampilkan Semua