Soal permasalahan politik uang itu bukan hanya bagi-bagi uang ke masyarakat. Sejak awal pencalonan praktik ini kerap terjadi. Beberapa kali terdengar isu para pasangan calon harus memberikan mahar politik jika ingin diusung oleh partai tertentu.
Politik uang juga bisa melibatkan penyelenggara pemilu. Ketika sudah selesai proses pemungutan dan penghitungan suara, melakukan tahapan selanjutnya, rekapitulasi suara, ada proses jual beli suara yang melibatkan penyelenggara pemilu.
Namun demikian praktik politik uang ini sangat sulit untuk dibuktikan. Pihak yang ingin mengetahui praktik tersebut biasanya takut akan keselamatan dirinya. yang jadi masalah, politik uang ini terkadang sulit untuk membuktikannya, yang melaporkan khawatir kalau dilaporkan justru dikriminalisasi balik, atau ya susah saja.
Kita hanya bisa dengar cerita, tapi tidak bisa diusut. Dari sisi waktu proses penyelesaian juga sangat singkat, sehingga tidak bisa menjerat aktor kunci.
Praktik politik uang ini biasanya dilakukan karena para calon memanfaatkan kondisi ekonomi rakyat. Praktik-praktik seperti ini dihindari oleh para peserta pilkada demi kualitas demokrasi yang lebih baik.
Memang masyarakat ada yang tidak mampu, masih menghadapi kemiskinan dan sebagainya, tapi janganlah kesengsaraan masyarakat itu dieksploitasi dengan uang receh. Sehingga tolong politik uang ini ditegakkan juga. Jika terbukti melakukan pelanggaran politik uang.
Seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam frasa UU 10 2016 ayat 2 berbunyi, sanksi administratif berlaku untuk pasangan calon, apabila paslon terbukti melakukan politik uang, Bawaslu dapat melakukan pembatalan sebagai pasangan calon kepala daerah.
“Paslon yang terbukti melakukan politik uang secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) bisa terkena sanksi diskualifikasi.
Pelanggaran terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.
Tampilkan Semua